Rabu, 16 Juli 2014

Just a Story

mobil yang kunaiki terus berjalan membelah jalanan kota paris yang dapat dibilang cukup ramai oleh banyak orang. Dari kaca mobil dapat kulihat gadis kecil yang kurasa berusia tidak lebih dari lima tahun sibuk berlarian di trotoar sementara seorang anak laki-laki yang kurasa lebih tua sedikit darinya berlari mengejarnya sambil tertawa. Aku menengok kursi mobil disebelahku, dia masih diam saja. Aku menghela nafasku panjang. Tidak seharusnya aku menaiki mobil yang ini, pamanku mengemudikannya dengan bibiku disebelahnya, sedangkan kakak sepupu perempuanku berada di kursi belakang mobil dengan kaki tiduran sedangkan telinganya tersumpal headset. Benar-benar tidak ingin diganggu.
Aku menengok lelaki yang duduk disebelahku sekali lagi. Dan saat itu pula kurutuki kembali diriku didalam hati kenapa aku tidak menaiki mobil dibalakang saja, dimana dad, mom serta keluargaku yang lain menaikinya. Ya, aku. Maksudku kami tengah mengantarkan lelaki ini kebandara sekarang. Justin Drew Bieber. Dia boleh dibilang masih saudaraku, dia cucu dari ayah angkat kakekku. Dia membatalkan rencana kuliahnya di paris dan harus kembali ke tempat tinggalnya di LA dikarenakan dia harus mempersiapkan sekolahnya ke London. Yup! Orang yang Iq-nya diatas rata-rata memang wajar mendapat beasiswa ke Cambridge University yang bisa dibilang bukan tempatnya orang bodoh.



Flashback on



“apa? Memang aku salah apa hingga kau meminta kita putus?” ucapnya dengan suara bergetar
“Justin, aku suka Niall” ujarku sambil menundukkan wajahku “tapi kamu malah membuatnya tidak membalas pesanku lagi.. kamu membobol facebook ku tanpa seijinku.. “ terusku
“scarlett.. kamu keterlaluan.. bisa-bisanya kau meminta putus hanya dikarenakan Niall sialan itu tidak membalas pesanmu lagi.. dan aku berbuat begitu juga dikarenakan kau berkata pada niall bahwa kau masih single” ujarnya sambil menatap mataku tajam. Aku benci tatapan ini.
“harusnya kau tahu.. jangan kekanak-kanakan.. meskipun aku berkata demikian, niall tak mungkin dapat bersamaku.. dia terlalu jauh di ireland justin.. “ belaku tak ingin kalah darinya. Aku ingat saat ketika aku lupa melog-out akun facebookku dari handphone justin dan berakhir dengan kejadian justin membaca pesanku dan Niall.. Niall James Horan yang aku kenal di facebook, aku tahu aku salah. Aku berkata aku masih single padanya. Tapi tak seharusnya dia mendiamiku dan berkata yang  tidak-tidak pada Niall seperti itu
“kalau kau tahu begitu, kenapa kau memutuskanku karna niall sialan itu.” Pekiknya marah “do you know? How much i control my mad!” ucapnya lagi
“lalu kenapa ? kenapa kau tidak marah saja! Dan perlu kau ingat juga, kau kakakku.. kita seharusnya tidak boleh seperti ini sejak dari awal.. “ ucapku setelah mendapat alasan yang masuk akal
“itu tidak masalah.. aku hanya saudara jauhmu” ucapnya lagi membuatku menggigit bibir bawahku.
Kalau boleh jujur sebenarnya aku sangat menyayangi lelaki ini. Tapi aku selalu merasa aku tak pantas untuknya, dia sempurna. Mata hazelnya, rambut pirangnya, dan senyumannya yang dapat membuat setiap gadis terpesona olehnya. Sangat berbanding terbalik denganku. Ditambah lagi  sahabatku, Ariana yang telah bersahabat denganku sejak kami masih taman kanak-kanak.yang hingga kini tidak tahu kalau selama ini aku berpacaran dengan justin, berkata padaku bahwa dia menyukai lelaki ini. Bahkan dia berkata dia menyukai justin sejak kami bertiga masih bermain bersama sekitar dua belas tahun yang lalu sebelum justin dan kedua orangtuanya pindah ke LA. Setelah aku mengetahui itu aku sering membuat msalah dengan justin. Berharap dia akan memutuskanku. Tapi tetap saja dia selalu sabar menghadapiku. Bahnkan ketika aku bergoncengan motor dengan mantanku, Greyson. Dia juga tidak marah. Dia berkata bahwa dia percaya padaku. Satu-satunya hal yang membuatnya marah ketika dia melihat kebohonganku kepada Niall yang berkata aku masih sendiri. Mungkin dia merasa tidak dihargai.
“Ariana menyukaimu..” ujarku akhirnya sambil menahan air mataku “dia sahabatku.. kau tahu itu” terusku. Dia menarik nafasnya panjang dan menggenggam tanganku “ tapi bukan berarti kau harus memberikanku padanya.. aku bukan barang Scarlett.. aku kekasihmu.. aku memilihmu” ucapnya berusaha meyakinkanku
Aku menghepaskan tangannya “terlambat.. aku udah nggak ada perasaan sedikitpun padamu jaybeee... “ ujarku yang langsung berlari kerumahku meninggalkannya. Takut jika aku berlama-lama kebohonganku akan ketahuan.
aku menghempaskan tubuku kearah ranjangku, menimbun kepalaku dengan bantal agar tangisku tidak terdengar nenekku yang tengah merajut topi untuk adik laki-lakiku di dekat pintu kamarku. “dia pantas dapat yang terbaik” batinku pada diriku sendiri.
Drrtt.. drtt..
Handphoneku bergetar. Pean dari justin..

Scarlett, jangan bohong embem.. bahkan kamu masih memanggilku jaybeee.. meskipun kau berkata  sudah tidak ada perasaan buatku. J

Air mataku kembali menetes.bahkan aku tidak sadar bahwa aku tadi memanggilnya sedemikian. Bodoh. Akupun mengetik pesan balasan untuknya

Itu karena kebiasaan,
Kita berakhir. Udah nggak ada lanjutannya lagi.

Sent! Lima menit, sepuluh menit, satu jam, dua jam. Tidak ada balasan darinya. Dia marah. Syukurlah.. ini yang aku mau.. tapi.. kenapa rasanya sesak ya? L


Sudah tiga minggu, aku selalu menghindari justin. Bahnkan ketika kami bertemu kami tak lagi saling bertegur sapa sedikitpun.
I Love you. Fool.
Aku mengetik pesan itu. Tapi tak pernah kukirimkan. Hanya kusimpan di draft pesanku.. menyakitkan memang. Dan sering kulihat kini justin sering bersama Ariana. terlihat akrab. Seharusnya aku senang dengan itu. Tapii.. entahlah.. mungkin penyakit bodohku semakin menjadi.
“besok kau tidak usah sekolah.. kita mengantar justin” ujar ayahku ketika makan malam
“mengantar justin?” ujarku bingung
“dia tidak bicara padamu?” tanya ibuku.
“jutin kembali ke LA” ujar ibuku. Dan dilanjutkannya dengan cerita kenapa justin harus kembali. Aku memandang spageti yang sedang kumakan. Ini makanan favoriteku.. tapi kenapa rasanya kini semakin pahit..

Flashback OFF
Mobil yang kami naikipun berhenti di pelataran parkir airport. Haruskah seperti ini? sejujurnya aku ingin memeluknya saat ini juga dan berkata padanya untuk tetap disini. Tapi itu memang tidak mungkin.
Aku tidak tahu bagaimana caranya aku telah duduk didalam ruang tunggu bandara. Mungkin itu karena pikiranku kosong sehingga aku berjalan mengikuti keluargaku tanpa berfikir hingga aku berada disini. Ayah dan ibuku terus berbincang dengan aunty Julie yang juga akan berangkat ke LA setelah sebulan lebih berlibur di tempatku. Aku menarik nafas panjang dan akhirnya mengeluarkan Headset berwarna pink dan mulai mendengarkan musik dari handphoneku. Aku mengingat bagaimana aku menggoda Justin ketika dia memilih Headset yang ingin dibelinya dengan berkata bahwa headset Pink ini bagus. Aku tidak menyangka jika kemudian dia membelikan Headset ini untukku termakan gurauanku. Padahal jelas-jelas aku tidak menyukai warna pink -_________________- .
Seseorang memegang tanganku membuatku membuka keembali mataku yang awalnya telah aku tutup. Justin.
Aku melepas Headset yang tengah aku pakai berharap akan ada kata-kata yang keluar darinya. Tetapi tetap nihil. Dia hanya memandang kosong kedepan dengan tangannya yang meremas tanganku lembut
“kau akan kembali?” ucapku kemudian. Tak tahan dengan hal yang selama ini ingin aku ketahui
Satu menit. Dua menit. Masih tidak ada jawaban. Aku menarik tanganku dari genggamannya, tapi dia malah mengeratkan pegangannya di tanganku
“biarkan seperti ini..” ujarnya lirih “untuk sementara biarkan seperti ini..” ucapnya lagi. Akhirnya aku membiarkan tanganku dipegang olehnya
“Tahan aku, bilang kau tidak ingin aku pergi” ujarnya kemudian yang membuatku menoleh kepadanya
“apakah jika aku ingin kau tetap disini kau tidak akan pergi?” tanyaku balik
“itu tergantung. Seberapa besar kau ingin aku tinggal.” Jawabnya dengan mata masih memandang kosong kedepan
“pergilah.” Ujarku. Memangnya aku siapa yang bisa membuatnya meninggalkan kesempatan besarnya hanya ntuk disini?
“aku takut,” ujarnya lirih membuatku kembali menolehkan wajahku kearahnya “takut?” tanyaku yang masih tak habis pikir dengan yang ditakutkannya
“aku takut aku tidak bisa mengingatmu. Aku takut aku tidak bisa menjaga hatiku. Aku takut hatiku telah berubah ketika kembali kemari” ujarnya kali ini sambil menatap kerahku. Ucapannya membuat hatiku teriris lagi, bukan karena aku takut ucapannya akan benar-benar terjadi. Tetapi lebih karena aku merasa bersalah terhadapnya. Tentang apa yang telah aku lakukan padanya dan sekarang aku masih mendengar dia ketakutan akan melupakanku? Mungkin jika aku menjadi dia aku malah berharap dapat melupakan diriku sendiri yang telah berbuat begitu jahat padanya.



“lupakan aku.” Ujarku
“lupakan aku.. lupakan hubungan yang seharusnya tidak pernah kita jalani. Kau saudaraku” aku berusaha berkata meskipun dengan nada serak
“aku lebih ingin diingat olehmu sebagai adik kecilmu seperti dulu daripada kau ingat sebagai bekas kekasihmu” terusku. Aku tidak berbohong kali ini
Justin menatapku. Dan aku tidak bisa membaca arti tatapan justin yang ditujukan padaku, itu seperti aku melihat tatapan marah, kecewa, sedih, yang masih belum sepenuhnya dapat terbaca dengan jelas olehku.
Dia menarik nafasnya panjang dan kemudian tersenyum kearahku, “mungkin kata-katamu barusan yang membuatku tidak bisa melupakanmu dan segalanya” ujarnya dengan senyum memggodanya sehingga membuatku menganga
“aku tidak mungkin dapat dengan nyaman bertemu dengannmu jika kau tetap mengingat hal itu “ desahku frustasi
Dia tertawa dan kemudian mencubit hidungku membuatku tidak bisa bernafas
“baik.. baik.. aku memang tidak berjanji melupakannya. Tapi aku berjanji akan pura-pura terkena amnesia padamu” ujarnya sambil tertawa. Aku melepaskan tangannya dari hidungku yang mungkin telah berwarna merah.
“aku-“ belum sempat aku mengatakan sesuatu pamanku telah memanggil justin dan menyuruhnya masuk kedalam pesawat bersama Aunty Julie
“aku menyayangimu” ucap justin sambil mencium pipiku sekilas dan berlari menuju pamanku yang tengah bergerombol bersama yang lain merubungi auntyku sehingga tidak menyadari perbuatan justin
“dimana Scarleet?” aku mendengar suara auntyku mencariku membuatku langsung berlari kearahnya. Aku sampai lupa jika aku juga tidak akan bertemu auntyku dalam waktu yang lama hehe.
Yang aku ingat setelah itu hanyalah punggung justin dan auntyku yang memasuki kabin pesawat.

Mungkin bukan justin yang akan melupakanku, tapi aku. Aku menyadari ketidakbisaanku untuk mengingat wajah atau nama seseorang dalam kurun waktu yang lama. Tapi aku akan berjanji. Meskipunn nanti otakku tidak mengingat wajahnya. Hatiku akan teetap mengingatnya.


Farewell my brother, my star, my ex-boyfriend , my world , my world 2.0 :)